Menanti Keberanian Jaksa Agung Kembali Eksekusi Mati Gembong Narkoba
Jaksa Agung Prasetyo dan Kepala BNN Komjen Budi Waseso
Jakarta - Kegundahan Kepala BNN Komjen Budi Waseso tidak bisa ditahan. Di dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR, Kamis (4/2) kemarin, ia meminta Jaksa Agung segera mengeksekusi mati 151 gembong narkoba.
"Kami beri dorongan ke Kemenkum HAM, Jaksa Agung karena Freddy Budiman sampai hari ini bisa menggiatkan operasinya. Itu kan yang 151 orang sudah diputus harus menjadi prioritas," tutur Buwas, begitu sang jenderal biasa disapa.
Kegundahan ini bukannya tanpa alasan. Peredaran narkoba sudah mencapai titik paling kritis sepanjang sejarah. Mereka yang ditangkap dan jebloskan ke penjara bukannya insaf tapi malah membangun kembali jaringan narkobanya dari balik bui. Segala cara dilakukan, dari mengelabui petugas hingga bagi-bagi kue ke oknum aparat.
Salah satunya adalah Freddy yang disebut Buwas itu. Ia merupakan mantan copet di Surabaya yang keluar masuk bui sejak tahun 90-an. Di dalam penjara itulah ia 'sekolah' menjadi mafia narkoba kelas atas. Hasilnya, omzet Freddy sangat fantastis.
Ulah Freddy keendus saat ia berkongsi dengan sesama penghuni LP Cipinang untuk mengimpor 1 juta pil ekstasi dari Hong Kong dengan nilai Rp 45 miliar. Tapi penciuman BNN lebih tajam dari insting Freddy. BNN membekuk penyelundupan terbesar sepanjang sejarah itu pada 2012. Selain dihukum mati, pengadilan juga mencabut hak-hak Freddy yaitu:
1. Hak berkomunikasi dengan gadget apa pun
2. Hak untuk menjabat di segala jabatan
3. Hak untuk masuk institusi
4. Hak untuk memilih dan dipilih
5. Hak untuk jadi penasihat atau wali pengawas anaknya
6. Hak penjagaan anak
7. Hak mendapatkan pekerjaan
Namun bukan Freddy namanya jika tersentuh hukum. Meski 7 hak tersebut sudah dicabut, ia malah membuat pabrik narkoba di dalam LP. Freddy bersama Haryanto Chandra dan Cecep Setiawan Wijaya membuat sabu di Kamar 16 Blok Pengamanan Khusus (Pamsus) LP Narkotika Cipinang pada Juni 2013.
Untuk mengamankan aksi mereka, Freddy bermufakat jahat dengan Wakil Kepala Pengamanan LP Gunawan Wibisono. Alhasil, bahan sabu dan perkakas pembuat sabu bebas masuk ke dalam penjara berkeamanan maksimum ini. Setelah pabrik sabu ini terbongkar, Gunawan lalu diadili dan dihukum 5 tahun dan 10 bulan penjara.
Ulah Freddy menampar muka Kemenkum HAM sehingga memindahkan Freddy ke LP Nusakambangan. Tapi bak The Godfather, Freddy kembali menjebol keamanan LP superketat itu. Ia bebas berkomunikasi dengan adiknya, Latief, yang masih bebas untuk mengedarkan 50 ribu dan membangun pabrik sabu di Pluit. Upaya ini terendus dan Latief lalu diadili tapi oleh PN Jakbar hanya dihukum penjara seumur hidup.
Kini, Freddy tiba-tiba berubah layaknya anak manis. Di LP barunya di Gunung Sindur, Bogor, Freddy diakui petugas telah berkelakuan baik.
"Seseorang yang menghadapi hukuman mati itu biasanya ada dua, kalau tidak lebih frustasi ya mendekatkan diri ke Tuhan. Dan Freddy memilih mendekatkan diri ke Tuhan," kata Kepala Humas Ditjen PAS Akbar Hadi di Jakarta akhir Janari lalu.
'Mandi uang' di penjara tidak hanya dilakukan oleh Freddy. Lihatlah Hartoni dan Syafrudin. Keduanya merupakan penghuni LP Narkotika Nusakambangan. Tapi penjara bukan halangan untuk menjalankan roda bisnisnya. Dengan menyuap Kalapas Marwan Fadli, Hartoni dan Syafrudin mengendalikan roda bisnisnya dari sebuah kandang sapi yang dibangun di sebelah pagar penjara sebab di dalam penjara sinyal HP diacak. Omzet uang miliaran rupiah mengalir ke kantong mereka kurun 2009-2011 dan dibagi-bagi ke Kalapas dan anak buahnya.
Sebagai ganjarannya, Hartoni dan Syafrudin dihukum mati, Marwan dihukum 13 tahun penjara, Kepala Sub Bidang Pembinaan dan Pendidikan Lapas, Fob Budhiyono dihukum 7 tahun penjara dan dua anak Marwan dan cucunya dihukum 1 tahun hingga 2,5 tahun penjara karena ikut menikmati uang kejahatan itu.
Selain Freddy, Hartoni dan Syafrudin, sederat nama juga belum dieksekusi mati hingga kini. Salah satunya kelompok 'Tangerang Nine' yang semuanya dihukum mati karena membangun pabrik narkoba terbesar nomor tiga di dunia. Sembilan orang di antaranya dihukum mati, yaitu:
1. Benny Sudrajat alias Tandi Winardi
2. Iming Santoso alias Budhi Cipto
3. Zhang Manquan
4. Chen Hongxin
5. Jian Yuxin
6. Gan Chunyi
7. Zhu Xuxiong
8. Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick
9. Serge Areski Atlaoui
Layaknya Freddy, Hartoni dan Syafruddin, ketua 'Tangerang Nine' juga tidak kapok meski dihukum mati. Ia di LP Pasir Putih, Nusakambangan kembali asik mengendalikan pembangunan pabrik narkoba di Pamulang, Cianjur dan Tamansari. Ia memanfaatkan dua anaknya yang masih bebas. Benny lalu diadili lagi oleh pengadilan dan karena sudah dihukum mati maka ia divonis nihil.
Banyaknya mafia narkoba yang tidak kapok divonis mati ini lah yang membuat geram Buwas. Hukuman mati seakan menjadi sapi ompong dan jadi bahan olok-olokan para mafia.
"Kita itu kok nggak PD ya terhadap putusan kita sendiri. Pengadilan telah memutuskan terdakwa dengan vonis mati tapi kok tidak kunjung dilaksanakan. Kasihan pengadilan kalau begini. Kita harus percaya diri dengan hukum kita," kata guru besar Prof Dr Hibnu Nugroho.
Kini, timah panas di tangan Jaksa Agung Prasetyo. Peluru untuk mengeksekusi para gembong narkoba masih ia simpan rapi di kantongnya. Mantan politikus Partai NasDem itu telah mengajukan anggaran ke DPR untuk mengeksekusi mati tapi prosesnya belum dilaksanakan. Di mana Jaksa Agung Prasetyo terakhir mengeksekusi mati yaitu April 2015 lalu.
"Kita lihat nanti, belum bisa saya pastikan," kata Jaksa Agung Prasetyo beberapa waktu lalu.
Ketidaktegasan ini membuat para mafia narkoba makin nekat. Terakhir yaitu peristiwa berdarah itu terjadi saat polisi menggerebek sebuah kampung untuk mengungkap jaringan narkoba di Jalan Slamet Riyadi IV, Kebon Manggis, pada 18 Januari 2016. Tiba-tiba saja 20 orang menyerang balik aparat sehingga 4 orang meninggal dunia, 3 di antaranya polisi. Polisi juga terlibat baku tembak saat menggerebek kawanan gembong narkoba di Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat.
"Ada korelasi jika eksekusi mati selalu ditunda-tunda yaitu menandakan hukum Indonesia itu lunak dan ini celah bagi bandar narkoba untuk terus berupaya mengedarkan narkoba di Indonesia. Ini bahaya bagi Indonesia," cetus Hibnu.
"Kami beri dorongan ke Kemenkum HAM, Jaksa Agung karena Freddy Budiman sampai hari ini bisa menggiatkan operasinya. Itu kan yang 151 orang sudah diputus harus menjadi prioritas," tutur Buwas, begitu sang jenderal biasa disapa.
Kegundahan ini bukannya tanpa alasan. Peredaran narkoba sudah mencapai titik paling kritis sepanjang sejarah. Mereka yang ditangkap dan jebloskan ke penjara bukannya insaf tapi malah membangun kembali jaringan narkobanya dari balik bui. Segala cara dilakukan, dari mengelabui petugas hingga bagi-bagi kue ke oknum aparat.
Salah satunya adalah Freddy yang disebut Buwas itu. Ia merupakan mantan copet di Surabaya yang keluar masuk bui sejak tahun 90-an. Di dalam penjara itulah ia 'sekolah' menjadi mafia narkoba kelas atas. Hasilnya, omzet Freddy sangat fantastis.
Ulah Freddy keendus saat ia berkongsi dengan sesama penghuni LP Cipinang untuk mengimpor 1 juta pil ekstasi dari Hong Kong dengan nilai Rp 45 miliar. Tapi penciuman BNN lebih tajam dari insting Freddy. BNN membekuk penyelundupan terbesar sepanjang sejarah itu pada 2012. Selain dihukum mati, pengadilan juga mencabut hak-hak Freddy yaitu:
1. Hak berkomunikasi dengan gadget apa pun
2. Hak untuk menjabat di segala jabatan
3. Hak untuk masuk institusi
4. Hak untuk memilih dan dipilih
5. Hak untuk jadi penasihat atau wali pengawas anaknya
6. Hak penjagaan anak
7. Hak mendapatkan pekerjaan
Namun bukan Freddy namanya jika tersentuh hukum. Meski 7 hak tersebut sudah dicabut, ia malah membuat pabrik narkoba di dalam LP. Freddy bersama Haryanto Chandra dan Cecep Setiawan Wijaya membuat sabu di Kamar 16 Blok Pengamanan Khusus (Pamsus) LP Narkotika Cipinang pada Juni 2013.
Untuk mengamankan aksi mereka, Freddy bermufakat jahat dengan Wakil Kepala Pengamanan LP Gunawan Wibisono. Alhasil, bahan sabu dan perkakas pembuat sabu bebas masuk ke dalam penjara berkeamanan maksimum ini. Setelah pabrik sabu ini terbongkar, Gunawan lalu diadili dan dihukum 5 tahun dan 10 bulan penjara.
Ulah Freddy menampar muka Kemenkum HAM sehingga memindahkan Freddy ke LP Nusakambangan. Tapi bak The Godfather, Freddy kembali menjebol keamanan LP superketat itu. Ia bebas berkomunikasi dengan adiknya, Latief, yang masih bebas untuk mengedarkan 50 ribu dan membangun pabrik sabu di Pluit. Upaya ini terendus dan Latief lalu diadili tapi oleh PN Jakbar hanya dihukum penjara seumur hidup.
Kini, Freddy tiba-tiba berubah layaknya anak manis. Di LP barunya di Gunung Sindur, Bogor, Freddy diakui petugas telah berkelakuan baik.
"Seseorang yang menghadapi hukuman mati itu biasanya ada dua, kalau tidak lebih frustasi ya mendekatkan diri ke Tuhan. Dan Freddy memilih mendekatkan diri ke Tuhan," kata Kepala Humas Ditjen PAS Akbar Hadi di Jakarta akhir Janari lalu.
'Mandi uang' di penjara tidak hanya dilakukan oleh Freddy. Lihatlah Hartoni dan Syafrudin. Keduanya merupakan penghuni LP Narkotika Nusakambangan. Tapi penjara bukan halangan untuk menjalankan roda bisnisnya. Dengan menyuap Kalapas Marwan Fadli, Hartoni dan Syafrudin mengendalikan roda bisnisnya dari sebuah kandang sapi yang dibangun di sebelah pagar penjara sebab di dalam penjara sinyal HP diacak. Omzet uang miliaran rupiah mengalir ke kantong mereka kurun 2009-2011 dan dibagi-bagi ke Kalapas dan anak buahnya.
Sebagai ganjarannya, Hartoni dan Syafrudin dihukum mati, Marwan dihukum 13 tahun penjara, Kepala Sub Bidang Pembinaan dan Pendidikan Lapas, Fob Budhiyono dihukum 7 tahun penjara dan dua anak Marwan dan cucunya dihukum 1 tahun hingga 2,5 tahun penjara karena ikut menikmati uang kejahatan itu.
Selain Freddy, Hartoni dan Syafrudin, sederat nama juga belum dieksekusi mati hingga kini. Salah satunya kelompok 'Tangerang Nine' yang semuanya dihukum mati karena membangun pabrik narkoba terbesar nomor tiga di dunia. Sembilan orang di antaranya dihukum mati, yaitu:
1. Benny Sudrajat alias Tandi Winardi
2. Iming Santoso alias Budhi Cipto
3. Zhang Manquan
4. Chen Hongxin
5. Jian Yuxin
6. Gan Chunyi
7. Zhu Xuxiong
8. Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick
9. Serge Areski Atlaoui
Layaknya Freddy, Hartoni dan Syafruddin, ketua 'Tangerang Nine' juga tidak kapok meski dihukum mati. Ia di LP Pasir Putih, Nusakambangan kembali asik mengendalikan pembangunan pabrik narkoba di Pamulang, Cianjur dan Tamansari. Ia memanfaatkan dua anaknya yang masih bebas. Benny lalu diadili lagi oleh pengadilan dan karena sudah dihukum mati maka ia divonis nihil.
Banyaknya mafia narkoba yang tidak kapok divonis mati ini lah yang membuat geram Buwas. Hukuman mati seakan menjadi sapi ompong dan jadi bahan olok-olokan para mafia.
"Kita itu kok nggak PD ya terhadap putusan kita sendiri. Pengadilan telah memutuskan terdakwa dengan vonis mati tapi kok tidak kunjung dilaksanakan. Kasihan pengadilan kalau begini. Kita harus percaya diri dengan hukum kita," kata guru besar Prof Dr Hibnu Nugroho.
Kini, timah panas di tangan Jaksa Agung Prasetyo. Peluru untuk mengeksekusi para gembong narkoba masih ia simpan rapi di kantongnya. Mantan politikus Partai NasDem itu telah mengajukan anggaran ke DPR untuk mengeksekusi mati tapi prosesnya belum dilaksanakan. Di mana Jaksa Agung Prasetyo terakhir mengeksekusi mati yaitu April 2015 lalu.
"Kita lihat nanti, belum bisa saya pastikan," kata Jaksa Agung Prasetyo beberapa waktu lalu.
Ketidaktegasan ini membuat para mafia narkoba makin nekat. Terakhir yaitu peristiwa berdarah itu terjadi saat polisi menggerebek sebuah kampung untuk mengungkap jaringan narkoba di Jalan Slamet Riyadi IV, Kebon Manggis, pada 18 Januari 2016. Tiba-tiba saja 20 orang menyerang balik aparat sehingga 4 orang meninggal dunia, 3 di antaranya polisi. Polisi juga terlibat baku tembak saat menggerebek kawanan gembong narkoba di Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat.
"Ada korelasi jika eksekusi mati selalu ditunda-tunda yaitu menandakan hukum Indonesia itu lunak dan ini celah bagi bandar narkoba untuk terus berupaya mengedarkan narkoba di Indonesia. Ini bahaya bagi Indonesia," cetus Hibnu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar